Ketika melakukan
perjalanan, selain pemandangan yang menakjubkan, orang-orang yang kita jumpai
juga tak kalah memberi kesan yang akan selalu dikenang. Senyum, keramahan,
cerita-cerita mereka adalah hal yang akan menemani perjalanan kita dan membekas
menjadi kenangan yang menghibur. Kenalan yang kita jumpai kadang-kadang membuat
rindu saat sedang penat dan bosan dengan rutinitas.
Mengenal mereka
memberi kita wawasan baru. Kearifan dapat digali dari cara mereka hidup.
Hikmah-hikmah dapat kita petik sebagai pelajaran dari cerita hidup mereka.
Senyum tulus memberi cara baru dalam mensyukuri hidup. Semua itu bisa
didapatkan ketika kita mau berjalan dan memperhatikan sekeliling.
Kesan itu saya
dapatkan dari orang-orang yang saya jumpai dalam perjalanan ini terutama
keluarga sederhana Papuk Daisah. Beliau sebenarnya dulu adalah warga desa kami.
Beliau dan keluarganya pindah, bertransmigrasi bersama beberapa keluarga
lainnya ke Labuan Lombok. Rumahnya dekat dengan pelabuhan penyebrangan menuju
pulau Sumbawa.
Desa kami letaknya
di desa Darek, sekitar sepuluh kilometer dari Bandara Internasional Lombok.
Kalau di peta, letaknya hampir menuju ekor pulau. Sedangkan Labuhan Lombok
letaknya dekat dengan Kepala Pulau, mungkin daerah mulutnya.
Saya bersama tiga
kawan lainnya memanfaatkan kesempatan libur lebaran idul fitri untuk
jalan-jalan. Tujuan kami adalah untuk mengelilingi pulau kecil ini.
Mengelilingi menyusuri pesisirnya sambil melihat wajah pulau dari pinggir dan
menikmati spot yang dijadikan tempat wisata. Kami juga ingin melihat keelokan
Rinjai dari segala sisi, selatan, barat, utara, dan timur. Kalau Om Yok Tanzil
banyak mengunjungi gunung berapi yang ada di Nusantara dalam acara Ring Of Fire yang ditayangkan Kompas TV,
bolehlah kami mengililingi salah satu saja dulu yaitu Rinjani. Gunung Rinjani
ini adalah bukti tekad kuat seorang Yok Tanzil yang bisa mendaki Rinjani meski
dalam kondisi kaki yang patah. Jalur yang kami tempuh dari kota Mataram
melewati Senggigi Lalu ke Tanjung dan singgah di sebuah desa tradisional.
Kami mendatangi
Desa Tradisional Segenter di Kecamatan Bayan. Suasana di sana sangat sepi.
Tidak ada satupun turis asing maupun lokal yang berkunjung hari itu. Yang kami
jumpai hanya seorang kakek dan anak kecil yang dari kejauhan memperhatikan
kami. Setelah saling sapa dan mengutarakan maksud kedatangan untuk mengunjungi
desa trdisional, kakek tersebut pun langsung mengantarkan kami masuk dan
bercerita tentang rumah-rumah di dalamnya. Kami memasuki desa tradisional ini
melalui pintu gerbang sederhana yang terbuat dari kayu. Rumah-rumahnya tersusun
rapi membentuk petak-petak yang teratur. Pondasi bangunannya dari batu yang
disusun, dindingnya dari anyaman bambu, dan beratap ilalang. Kalau tidak salah
ada sekitar enam puluh lebih rumah di sana. Beberapa lagi ada yang sudah
dirubah menjadi bangunan permanen "bale batu", istilah untuk menyebut rumah
berbeton dan bertembok.
Rumah Tradisional Desa Segenter
Kakek mengajak
kami masuk ke salah satu rumah dan mulai menjelaskan isi di dalamnya. Rumah
tersebut tanpa jendela. Angin memang sudh bisa leluasa keluar masuk lewat
celah-celah anyaman bambu. Di dinding rumah tergantung perkakas yang terbuat
dari buah maja kering yang digunakan untuk mengambil air. Di atasnya berbaris
perkakas dapur dari kayu semacam spatula kakak beradik bermacam ukuran terselip
di sela-sela tapnya. Ada yang pendek, ada yang panjang, ada yang ramping, dan
ada juga yang lebar. Perkakas tersebut di gunakan untuk memasak ketika ada
acara hajatan.
Perabot Rumah Desa Tradisional Segenter
Isi rumah yang
lain adalah sebuah dipan yang cukup besar. Di samping dipan ada bangunan
seperti rumah panggung yang disebut inan beleq. Kata kakek, inan beleq
digunakan oleh pengantin baru menghabiskan malam pertamanya. Kami diizinkan
oleh kakek menengok isi di dalam inan belq. Karena tidak ada pengantin yang
menghuni rumah ini, di dalamnya hanya terdapat gentong tembikar untuk menyimpan
beras, peralatan memasak seperti kuali dan penggorengan yang juga terbuat dari
tanah liat. Tidak ada pengantinnya ya teman-teman!
Rumah Panggung di Dalam Rumah: Inan Beleq
Sebuah berugak,
semacam gazebo dengan rangka dari kayu, alasnya dari bilah bambu, dan beratap
ilalang juga berdiri di depan rumah. Biasanya digunakan untuk menyambut tamu.
Kami duduk sebentar di sana sambil menyimak lanjutan cerita kakek. Jarang turis
yang datang ke sana. Sebenarnya di luar pintu gerbang ada bangunan pusat
informasi yang sudah tidak dipakai lagi. Kondisinya sudah sudah mulai rusak dan
tidak terurus. Mendengar cerita kakek, saya membayangkan kondisi ini sangat
memprihatinkan. Pemerintah belum sepenuhnya bersungguh-sungguh menggali dan
mengelola potensi wisata ini.
Penduduk desa
segenter bermatapencaharian petani. Tetapi cucu-cucu kakek yang masih muda
memilih merantau ke Malaysia menjadi TKI bekerja di kebun sawit. Hasil dari
merantau bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, merehab rumah, dan biaya
pendidikan saudara. Setelah mendengar cerita kakek panjang lebar, kami minta
pamit. Sebelumnya kami memberikan sedikit hadiah dan berfoto sebagai kenang-kenangan.
Adik kecil yang juga ikut dari tadi kami kasih kue lebaran yang kami bawa.
Dari Desa Tradisionl Segenter, kami menuju air terjun Sendang Gile yang berada di Desa Senaru dan Masjid Kuno Bayan. Saya akan menceritakan sedikit saja tentang kunjungan kami ke sana. Desa Senaru adalah salah satu pintu masuk jalur pendakian Rinjani. Pengunjungnya waktu itu ramai sekali baik oleh turis domestik maupun asing. kami tak ingin berlama-lama di sana. Puas bersalaman dengan air terjun yang dingin kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Bayan. Sebenarnya ada satu lagi Air terjun di dekat sana, namanya Tiu Kelep. Air tejun tersebut debitnya besar sekali. Pengunjung yang ingin ke sana harus melewati sebuah lorong besar yang juga dipakai sebagai saluran air.
Papuk dan Adik Kecil
Dari Desa Tradisionl Segenter, kami menuju air terjun Sendang Gile yang berada di Desa Senaru dan Masjid Kuno Bayan. Saya akan menceritakan sedikit saja tentang kunjungan kami ke sana. Desa Senaru adalah salah satu pintu masuk jalur pendakian Rinjani. Pengunjungnya waktu itu ramai sekali baik oleh turis domestik maupun asing. kami tak ingin berlama-lama di sana. Puas bersalaman dengan air terjun yang dingin kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Bayan. Sebenarnya ada satu lagi Air terjun di dekat sana, namanya Tiu Kelep. Air tejun tersebut debitnya besar sekali. Pengunjung yang ingin ke sana harus melewati sebuah lorong besar yang juga dipakai sebagai saluran air.
Bermain Air
Memasuki kompleks
masjid, kami menemukan anak-anak yang sedang bermain di sana. Anak laki-laki
mengenakan ikat kepala dan kain tenun seperti bapak-bapak tadi tetapi tidak
mengenakan baju. Anak-anak perempuan juga mengenakan kain tenun sampai dada dan
selembar kain lagi seperti kemben. Anak-anak tersebut santai saja melayani
pengunjung yang minta berfoto. Kami pun ikut mengajak mereka berkenalan dan
berfoto lalu bertanya-tanya tentang masjid. Sedikit informasi yang kami dapat
dari mereka, masjid tidak dibuka setiap hari. Salah seorang dari anak-anak itu
adalah cucu dari Papuk Lebe, namanya Deo. Papuk itu artinya kakek dan lebe itu
sebutan mereka kepada kiyai atau penghulu agama. Kata teman-temannya, kalau
sudah pandai mengaji dan sudah besar, Deo akan menggantikan kakeknya nanti.
Amiiin. Semoga Deo menjadi anak yang soleh dan pintar. Selanjutnya kami
melihat-lihat tempat pemakaman para penghulu agama yang menjadi imam masjid dan
melanjutkan perjalanan menyusuri indahnya pinggang Gunung Rinjani.
Anak-Anak Bayan
Pemandangan di
sisi utara menuju sisi timur Rinjani tak kalah keren. Kami melewati sungai yang
menjadi aliran lava rinjani di Desa Kokok Putik. Di bebatuan sungai yang
berwarna putih masih menempel warna kekuningan seperti sisa belerang. Kami
berhenti di sana dan menemukan sebuah papan informasi tempat wisata. Sebuah
pemandian yang mengandung belerang. Kami menanyakan lokasi tepanya kepada warga
yang lewat. Ternyata pemandiannya belum resmi dibuka karena fasilitas wisatanya
masih dipersiapan. Perjalanan Ring Of Fire Kecil-kecilan ini masih terus
berlanjut. Om Yok, pinjam nama acaranya sebentar ya! Hehe.
Perjalanan yang
kami mulai dari pukul tujuh pagi telah membawa kami sampai di daerah Labuan
Lombok, Kabupaten Lombok Timur ketika matahari sudah ingin tenggelam. Beberapa
tempat wisata dan tempat bersejarah telah kami datangi hari itu. Berkeliling
sampai di sini saja sebenanya sudah membuktikan hampir semua tempat di pulau
ini bisa dijadikan objek wisata. Pemandangannya keren-keren. Lain kali saya
ceritakan.
Spot wisata
terakhir yang kami jumpai hari itu adalah Pohon Purba Lian langka. Pohonnya
besar sekali. Tinggi kita mungkin hanya sebatas tumitnya saja. Bus yang
diparkir dibawahnya terlihat kecil. Tumbuh beberapa pohon lian langka yang
dipagari sebagai area rekreasi dan selfie narsis. Di sebrang jalan luar pagar
juga ada sekitar tiga pohon, satunya sudah lapuk dan sudah tidak berdaun. Kami
tidak bisa lama-lama di sana. Asar yang sudah mulai senja mengingatkan kami
untuk segera menemukan tempat istirahat malam ini.
Pohon Burba Lian Langka
Kami sudah
berencana akan menginap di masjid terdekat ketika malam sudah menjelang. Orang
tua kami sebenarnya agak khawatir dengan rencana ini. Mereka berpesan agar kami
mengusahakan sudah sampai Labuan Lombok malam harinya. Kami disuruh mencari
Gubuk Darek, perkampungan tempat tinggal orang-orang desa kami yang
bertransmigrasi. Di sanalah rumah Papuk Daisah.
Mungkin gubuk
Darek sudah banyak dikenali. Orang pertama yang kami tanyakan memberitahu kami
lokasinya dengan jelas. Lokasi yang ditunjukan orang tadi ternyata tepat. Kami
lanjut mencari rumah Papuk Daisah dengan bertanya kepada ibu-ibu yang lewat.
Mendengar nama yang kami tanyakan adalah Papuk Daisah, orang tersebut lantas
berteriak memanggil seseorang dengan nama Papuk meres. “Papuk Meres ne araq
temoem!” artinya, “Papuk meres ini ada tamu nutukmu.” Kenapa Papuk Daisah
dipanggil Papuk meres? Mungkin karena masakannya enak, dan enak dalam bahas
Darek adalah meres. Meskipun sudah puluhan tahun menetap di sini, logat beliau
bicara masih seperti logat orang Darek. Makanya tetangga sekitar sering
menggodanya dengan meniru logat Darek. Bahasa yang digunakan suku sasak di
Lombok memang sama, tetapi memiliki beragam logat yang khas di tiap daerah.
Bahkan desa yang bersebelahan juga masih bisa ditemukan sedikit perbedaan dari
tinggi rendahnya nada, panjang pendeknya ketika mengucapkan sebuah kata, atau
pun dari cara mengekspresikannya. Mendengar teriakan itu Papuk Daisah bergegas
menghampiri kami. Kami langsung dipersilahkan menuju rumahnya dan duduk di
semacam dipan di depan rumahnya. Beliau menyuguhkan air putih lalu menanyakan
asal kami. Kami mulai bercerita siapa kami. Asal, nama, dan orang tua kami.
Kami merasa sepeti orang hilang yang baru ditemukan. Ternyata beliau kenal
kakek, nenek, dan orang tua kami.
Setelah itu kami
dipersilahkan menunggu dan beristirahat di dalam rumah. Beliau izin ke belakang
ingin memasak untuk kami. Sambil menunggu, kami dihidangkan segelas kopi oleh
anak tertuanya, Daisah. Orang Lombok kalau sudah mempunyai anak, namanya akan
berubah sesuai nama anak pertamanya, seperti orang Arab. Misalnya, saya Hilal
dan mempunyai anak namanya Jhon, maka nama saya akan berubah menjadi amaq Jhon
(ayahnya Jhon) dan istri saya namanya menjadi inaq Jhon (ibunya Jhon).
Rumah Papuk Daisah
Keluarga
Papuq Daisah tengah berbahagia. Keluarganya sedang berkumpul. Anak dan cucunya
yang merantau ke Kalimantan berkesempatan pulang kampung untuk waktu yang
lumayan lama. Kami pun ngobrol dengan anak-anak, cucu, serta seorang
tetangganya sambil menikmati hidangan buatan Papuk.
Mereka bercerita
kondisi waktu pertama kali pindah ke tempat itu. Tempat ini dekat dengan kaki
Gunung Rinjani sebelah timur. Tak jauh dari desa itu sudah ada hutan jatinya.
Terbayang kan ketika pindah ke tempat ini bagaimana harus mengolah tanah untuk
bisa ditanami.
Mereka Juga
menanyakan tentang keluarga yang masih tinggal di Darek. Rencananya besok pagi
mereka ingin pergi ke Darek berziarah ke makam orang tua dan mengunjungi
keluarga. Di tengah obrolan sambil menceritakan daerah yang telah kami kunjungi
dan rencana perjalanan selanjutnya, tib-tiba istri dan putri dari anak kedua
Papuk Daisah datang. Putrinya baru lulus SMA. Katanya diterima masuk perguruan
tinggi NW jurusan arsitek dan cantik juga orangnya. hehe.
Sekitar pukul
sepuluh malam, kami dipersilahkan istirahat. Dua buah karpet digelar sebagai
alas tidur kami. Alhamdulillah nyaman sekali apalagi kalau sudah kelelahan
seperti ini. Pukul dua belas saya terbangun dan malam itu hujan turun dengan
lebat. Tidur kami tentu akan semakin nyenyak. Tarik selimutnya ah.
Pagi sekali
menjelang azan subuh saya bangun duluan dan segera mandi, takut nanti berebut.
Rencana pagi-pagi sekali kami ingin langsung pamitan melanjutkan perjalanan.
Tetapi Papuk menahan dan mempersilahkan untuk jalan-jalan melihat sumber air
yang ada di desanya. Beliau memberi tahu arah jalan dan menunjukkan bangunan
berwarna hijau tempat penampungan sumber air. Bangunan itu seperti rumah. Bisa
dibilang tangki penampungan air. Katanya sumbernya adalah dari sebuah air
terjun di kaki gunung rinjani. Untuk ke sana mungkin butuh waktu lama. Karena
ingin segera melanjutkan perjalanan kami cukup berfoto-foto.
Pemandangan di
sana sangat keren. Sebelah timur nampak kesibukan pelabuhan Kayangan dan di
sebrangnya deretan perbukitan pulau Sumbawa lengkap dengan matahari yang mulai
terbit. Indahnya Subhanallah. Sebelah barat ada gunung rinjani, perbukitan yang
ditumbuhi pohon jati, dan batu-batu raksasa yang menyembul dari tanah.
Batu-batunya banyak sekali berserakan. Salah seorang teman nyeletuk, “mungkin ini
kerjaan raksasa zaman dahulu yang sedang iseng.” Temanku ini “gawah” sekali
alias ndeso ya. Dia hanya becanda kawan. Berfoto di sini sayang sekali untuk
dilewatkan. Terima kasih Papuk sudah mengarahkan kami ke tempat ini.
Puas menikmati
pemandangan, balik ke rumah Papuk Daisah, kami sudah disuguhi sarapan. Menunya
khas daerah pesisir. Lauk ikan asin, sayur asem dan buah kelor lengkap dengan
sambelnya. Kami makan ditemani cucunya yang paling besar, namanya Bus, mungkin
panjangnya Busairi yang menceritakan batu-batu yang berserakan itu adalah
lokasi tambang batu untuk bangunan. Bus juga bercerita tentang air terjun
sumber air tadi. Sistem penampungan yang mereka ciptakan membuat kebutuhan air
mereka sangat tercukupi. Jika dibandingkan kondisi di desa kami yang harus
membayar tagihan air yang kadang-kadang juga macet tak mengeluarkan air dari
keran. Mereka pandai sekali memanfaatkan potensi alam di sekitarnya. Sementara
kami makan, Papuk Daisah ngobrol lewat HP dengan Papuk Bahar, orang tua kami di
Darek. Beliau berkata senang kedatangan tamu. Papuk Bahar mengucapkan banyak
terimakasih dan bersyukur kami bisa bermalam di rumahnya.
Akhirnya kami
harus pamit. Saya berterimakasih dan mengucapkan maaf karena merepotkan. Papuk
Daisah mengatakan tidak usah begitu. Beliau senang kedatangan tamu. Menurut
beliau, kedatangan tamu dan bisa menjamunya adalah kesempatan untuk mendapatkan
pahala. Saya berharap memiliki kesempatan berkunjung lagi ke sana sambil
bertukar cerita dan membawakan oleh-oleh untuk keluarga tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar